Kadang takut,
Rasa jadi mati,
Kian kebal ia jadinya,
Kerap memakan mentah-mentah semua kekecewaan,
Dan menertawakan amarah yang ingin meluap.
Ragu selalu jadi persimpangan,
Dan pengertian jadi lampu ijonya,
Lalu amarah yang kau pendam,
Hendak dikemanakan?
Melipur lara pun sudah jadi rutinitas sehari-hari,
Dituntut untuk jadi yang paling dewasa,
“kan sudah umurmu,”
Katanya.
Lalu apa iya,
Amarah,
Kecewa,
Dendam,
Benci,
Patah,
Harus selalu ku kubur hidup-hidup?
Seakan raga tak perlu ada jiwa,
Asal ia masih bisa berjalan.
No comments:
Post a Comment